PENEGAKAN HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DALAM PESPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM.


Oleh: Safar, NIM. 7109051, 22 Nop 2008
Dosen: Prof Dr H Zainuddin Ali, MA (Guru Besar Sosiologi Hukum)



A. Latar Belakang

Keprihatinan warga masyarakat terutama kaum perempuan dan relawan Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap banyaknya kasus – kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu factor pendorong dibentuknya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( UU KDRT ). Kelahiran undang – undang ini memang tidak dapat dilepaskan dari semangat jaman yang bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang dipandang sebagai kelompok yang paling rentang terhadap perlakuan keras.
Disahkannya UU PKDRT tersebut, merupakan suatu pemikiran yang komprehensif dari Negara dengan political will untuk memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Yang bertujuan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 4 UU PKDRT Tahun 2004 :
a. Mencegah segalah bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak prilaku kekerasan dalam rumah tangga,
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtra;¬
Namun yang menjadi kendala adalah upaya untuk mengungkap bentuk kekerasan ini tidaklah mudah, selain karena pemahaman / kesadaran masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya dipahami sebagai bentuk pelanggaran HAM, juga kekerasan dalam bentuk ini masih dilihat dalam ranah privat.
Kekerasan yang maksud dalam undang – undang ini diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga terutama ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga.
Pembentukan UU PKDRT, yang memuat kriminalisasi terhadap perbuatan kekerasan pada perempuan dan anak, merupakan upaya yang telah dirintis sejak lama unutk mewujudkan lingkungan sosial yang nyaman dan membahagiakan bebas dari kekerasan. Idealisme ini tentulah bukan sesuatu yang berlebihan di tengah kehidupan abad 21 yang telah serba sangat maju, terasakan sebagai suatu kejanggalan manakalah lingkungan hidup yang seyogyanya dapat memberikan suasana yang memberikan perasaan termanusiakan sepenuhnya ternyata sebaliknya menjadi lingkungan yang dipenuhi kekerasan atau perilaku barbar. Dengan demikian keberhasilan penegakan hukum UU KDRT ini menjadi dambaan banyak pihak yang merindukan damai didalam rumah tangga.
Secara sosiologis, kekerasan merupakan sikap atau tindakan yang dipandang sangat tercela. Oleh karen penegakan norma – norma etika atau moral secara umum bersumber pada kesadaran dalam diri setiap orang, maka dalam situasi seperti sekarang ini tampaknya sangat sulit diharapkan penghapusan kekerasan ( dalam rumah tangga ) dilakukan diluar kerangka pendekatan yang sifatnya sistematis. Oleh karenanya kemudian dilakukan pendekatan yang sistematis dengan diaplikasikan melalui sarana hukum pidana yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
B. Permasakahan
Berdasarkan latar belakang pemikiran sebagaimana diuraikan diatas, masalah yang ingin dibahas adalah “Bagaimana prospek penegakan hukum undang – undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ( UU PKDRT ) ditinjau dari persepktif sosiologi hukum ?”

C. Tujuan dan manfaat
Tujuan dalam pembuatan tugas makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi ruang lingkup Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ditinjau dari sosiologi hukum.
Manfaat yang hendak dicapai dalam tugas makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sumber referensi tambahan bagi Mahasiswa lain tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penegakan hukum Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

D. Pembahasan

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan, hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukUm, pembentukan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakaN interaksi antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan – kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakaN hukum mempunyai dimensi yang lebih luas dari pada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.
Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “ law in action “ Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi oleh 5 faktor:
1. Factor hukum atau peraturan perundang-undangan.,
2. Factor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya. Yang berkaitan dengan masalah mentalitas.,
3. Factor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.,
4. Factor masyararakat, yakni lingkungan sosial dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam prilaku masyarakat.,
5. Factor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyatakan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni: Kompnen struktur hukum ( legal structure), komponen substansi hukum ( legal substansce) dan komponen budaya hukum ( legal culture) serta dalam perkembangannya kemudian ditambahkan dengan komponen struktur hukum ( legal structure).
Perumusan norma atau kaedah didalam Undang-undang ini, dituangkan didalam-pasal-pasal 5 s/d 9. Didalam pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam ruma tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik, b. kekerasan psikis, c. kekerasan seksual, atau d. Penelantaran rumah tangga;
Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekersan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekersan psikis sebagai mana dimaksud pada Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangmya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang;
Sementara itu dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetpkan dalam lingkup rumah tangga tersebut. (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap slah seorang dalam ringkup rumah tangganya denga orang lain untuk tujuan komersial da atau tujuan tertentu.
Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) penelantaran sebagaimana dimakud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkn ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada dibawah kendali orang tesebut.
Di dalam Undang-undang ini juga dnyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan ( Pasal 51 ). Demikian juga,tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan ( Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan ( pasal 53).3
Sosiologi hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam aren-arena sosial dlam masyarakat, sama engan mengantarkan sebuah Undang-ndang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan kesuatu area sosial tersebut seda penuh dengan berbagai engataran sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai self Regulation Moor,1983), ini membuat perencanaan tentang masknya suau instrument hukum yang bertujuan memajukan hak sasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
Arena sisial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sangsinya. Dalam hal ini aturan-aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan-kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembamgan dunia global saat ini. Berbagai self regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena tejadinya saling pengaruh dan adopsi diantara berbagai aturan tersebut akan terus dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut sebagai Semi Autonomous social field (Moor, 1983.)
Moore juga mengatakan bahwa diantara aturan-turan hukum yang saling bertumpang tindih didalam arena sosial tersebut, ada satu hukum yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara. Namun, ini bukan berarti bahwa hukum negara menjadi satu-satunya hukum yang yang paling ditaati. Dalam sosio-legal perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang memberi cela ( loop holes) kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum Negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya dimana hukum itu berada.
Disini penulis ingin menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keeping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu meerumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyaraat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yan tidak memmberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya penempatan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekusaan yang timpang dan hukum melegetimasinya.
Sebagaimana sarjana hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagi persoalan dalam masyarakat berkenaan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakt. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh Negara. Hukum Negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya. Berkdudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.
Pendekatan sosiologi hukum menunjukan bahwa hukum Negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan berprilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam pratik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum datang dari domain yang “ asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memeiliki kesatuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh da berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.
Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana ( dikategorikan sebagai delik aduan ) didalam Undang-undang PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban. Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan, maka pihak korban atau keluarganya yang harus bersikap proaktif untuk mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana. Pengkualifikasian suatu perbuatan yag dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukan pendirian pembentuk undang-undang Indnesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada public.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini adalah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestic, dan penegakan ketentuan di dalam Undang-Undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah keengganan seorang isteri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini Polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sangat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, factor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai cultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu.
Dengan perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.
Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar pengguganaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan ( ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi Negara dalam masyrakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi Negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat kearah yang lebih positif berupa terwujunya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarchs untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai lankah lain yang patut diambil untk dapat mmbuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknnya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempun dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

E. Kesimpulan
Dilihat dari segi sosiologi hukum proses pengakan hukum PKDRT akan sulit ditegakkan karena banyak kendala dalam pelaksanaannya, terutama kultur budaya masyarakat Indonesia yang patriarkhi yakni mendudukan laki-laki sebagai makhluk superior/kuat dan perempuan sebagai mahluk inferior/lemah.



DAFAR PUSTAKA
UU No. 23 Th. 2004, Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Zainuddin Ali, 2008, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika
Esmi Warassih, Pranata Hukum sebuah telaah Sosiolgi, Semarang: Suryandaru Utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan beban kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yokyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F, Susanto, Beberapa Aspek Sosologi Hukum, Bandung : Alumni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

putra andesland Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template